Halaman

Minggu, 23 September 2012

Kasus Yuli Setyorini, Kriminalisasi Apoteker?

Sebuah konfrensi pers dilakukan oleh Ikatan Apoteker Indonesia, di Hotel Bidakara pada tanggal  13 Agustus 2012. Pembahasannya masih mengenai kasus sejawat Apoteker, Yuli Setyarini, yang dituntut hukuman 7 bulan penjara atas tuduhan penggelapan.

Satu pertanyaanpun bergulir, benarkah kasus Yuli adalah sebuah kriminalisasi Apoteker? Seperti hal nya yang dirasakan oleh Yuli, bahwa kasus ini adalah kriminalisasi untuk dirinya. Sedang kan Yuli merasa, apa yang dilakukannya adalah sebuah kewenangan Apoteker yang telah diatur pelaksanaanya dalam peraturan pemerintah.

Sebelumnya perlu diingat, bahwa dalam menjalankan profesinya, apoteker dilindungi oleh beberapa peraturan, yaitu undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009, PP. 51 tahun 2009 mengenai pekerjaan kefarmasian, undang-undang narkotika dan undang undang psikotropika. Pengamanan sediaan psikotropika yang dilakukan oleh Yuli ke Dinas Kesehatan Semarang, demi keamanan agar tidak terjadi penyalahgunaan, adalah suatu kewenangan bagi Apoteker. Hal ini jelas tertera pa pasal 108 Undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009:

(ayat 1)“Praktik kefaramasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”

Dijelaskan adalam penjelasan ayat 1, tenaga kesehatan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Ketika tenaga kefarmasian tidak ada, maka tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktek kefarmasian secara terbatas. Pada pasal 2, dituliskan bahwa ketentuan mengenai praktek kefarmasian dijelaskan dalam peraturan pemerintah.

Pada PP. 51 tahun 2009, juga dipaparkan mengenai penjelasan tenaga kefarmasian, bahwa Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Asisten Apoteker. Dalam hal ini jelas, bahwa pihak-pihak diluar Apoteker dan Asisten Apoteker bukanlah tenaga kefarmasian, dan sudah pasti tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

Pada pasal 25 PP 51 tahun 2009, dipaparkan tiga point mengenai kerjasama Apoteker dan pemilik modal dalam pendirian Apotek:
  1. Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
  2. Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
  3. Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimakasid ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.


Yuli sebagai Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal telah melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan wewenangnya, berdasarkan undang-undang kesehatan, yang salah satunya adalah mengamankan sediaan farmasi.

Disimpulkan oleh Dani Pratomo, bahwa esensi dari Undang-undang 36 tahun 2009 dan PP. 51 tahun 2009 adalah: Bahwa proses kefarmasian harus terselenggara sebagai sebuah peristiwa pelayanan kesehatan. Bahwa obat sebagai produk kefarmasian tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tapi juga memiliki manfaat kesehatan sekaligus resiko kesehatan yang tinggi. Bahwa Apoteker adalah pelaku utama dari praktik kefarmasian sehingga harus bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan praktek kefarmasian.

Dilihat dari Kasus Yuli, tentu vonis yang diterimanya kurungan selama 4 bulan adalah bentuk ketidak adilan. Hal ini dikarenakan setelah dipelajari oleh bagian etik profesi, Dinas kesehatan dan BPOM, apa yang dilakukan Yuli adalah sesuai dengan kewenangannya. Tidak tepat menjerat Yuli dengan pasal 374 KUHP. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan ataupun penytaan, “Kasus Yuli adalah bentuk kriminalisasi Apoteker?”

Kasus Yuli adalah kasus yang luar biasa, dan ini menjadi pelajaran berharga untuk semua Apoteker, agar ke depannya Apoteker senantiasa unjuk gigi dan berani melawan penyimpangan-penyimpangan yang di lakukan oleh PSA yang nakal. Dan, ini juga merupakan pembelajaran baru bagi IAI, agar ke depannya dalam pemberian rekomendasi terhadap Apoteker untuk pendirian Apotek, senantiasa melakukan penelaahan lebih jauh mengenai Apotek yang akan didirikan tersebut. Tentu juga menjadi motivasi dan semangat baru untuk IAI memperjuangkan Undang-Undang Pekerjaan Kefarmasian, agar pekerjaan kefarmasian  yang dilakukan oleh Apoteker semakin kuat payung hukumnya.

Perjalanan kasus Yuli masih sangat panjang, dan tentu ini sangat melelahkan bagi Yuli. Karenanya Apoteker harus tetap bersatu, agar apa yang telah menimpa Yuli, keputusan akhirnya dapat berpihak pada profesi Apoteker. Dan untuk ke depannya, jangan lagi ada kriminalilsasi pada sebuah pekerjaan profesional. (vit)

1 komentar:

  1. hemmm lucunya negeri ini...hukum tp tidak punya kekuatan hukum.
    dukungan dan doa buat mbk Yuli Setyarini,lawan,lawan dan lawan kezoliman terhadap profesi

    BalasHapus

Komentar Anda

BERITA WEBSITE IAI

iklan iklan iklan iklan iklan iklan iklan

IP