Sebuah konfrensi
pers dilakukan oleh Ikatan Apoteker Indonesia, di Hotel Bidakara pada tanggal 13 Agustus 2012. Pembahasannya masih mengenai
kasus sejawat Apoteker, Yuli Setyarini, yang dituntut hukuman 7 bulan penjara
atas tuduhan penggelapan.
Satu
pertanyaanpun bergulir, benarkah kasus Yuli adalah sebuah kriminalisasi
Apoteker? Seperti hal nya yang dirasakan oleh Yuli, bahwa kasus ini adalah
kriminalisasi untuk dirinya. Sedang kan Yuli merasa, apa yang dilakukannya
adalah sebuah kewenangan Apoteker yang telah diatur pelaksanaanya dalam
peraturan pemerintah.
Sebelumnya perlu
diingat, bahwa dalam menjalankan profesinya, apoteker dilindungi oleh beberapa
peraturan, yaitu undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009, PP. 51 tahun 2009
mengenai pekerjaan kefarmasian, undang-undang narkotika dan undang undang
psikotropika. Pengamanan sediaan psikotropika yang dilakukan oleh Yuli ke Dinas
Kesehatan Semarang, demi keamanan agar tidak terjadi penyalahgunaan, adalah
suatu kewenangan bagi Apoteker. Hal ini jelas tertera pa pasal 108
Undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009:
(ayat 1)“Praktik kefaramasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”
Dijelaskan
adalam penjelasan ayat 1, tenaga kesehatan yang dimaksud dalam pasal tersebut
adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Ketika
tenaga kefarmasian tidak ada, maka tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan
praktek kefarmasian secara terbatas. Pada pasal 2, dituliskan bahwa ketentuan
mengenai praktek kefarmasian dijelaskan dalam peraturan pemerintah.
Pada PP. 51
tahun 2009, juga dipaparkan mengenai penjelasan tenaga kefarmasian, bahwa Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Asisten
Apoteker. Dalam hal ini jelas, bahwa pihak-pihak diluar Apoteker dan
Asisten Apoteker bukanlah tenaga kefarmasian, dan sudah pasti tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Pada pasal 25 PP
51 tahun 2009, dipaparkan tiga point mengenai kerjasama Apoteker dan pemilik
modal dalam pendirian Apotek:
- Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
- Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
- Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimakasid ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Yuli sebagai
Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal telah melakukan pekerjaan
kefarmasian sesuai dengan wewenangnya, berdasarkan undang-undang kesehatan,
yang salah satunya adalah mengamankan sediaan farmasi.
Disimpulkan oleh
Dani Pratomo, bahwa esensi dari Undang-undang 36 tahun 2009 dan PP. 51 tahun
2009 adalah: Bahwa proses kefarmasian
harus terselenggara sebagai sebuah peristiwa pelayanan kesehatan. Bahwa obat
sebagai produk kefarmasian tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tapi juga
memiliki manfaat kesehatan sekaligus resiko kesehatan yang tinggi. Bahwa
Apoteker adalah pelaku utama dari praktik kefarmasian sehingga harus
bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan praktek kefarmasian.
Dilihat dari
Kasus Yuli, tentu vonis yang diterimanya kurungan selama 4 bulan adalah bentuk
ketidak adilan. Hal ini dikarenakan setelah dipelajari oleh bagian etik
profesi, Dinas kesehatan dan BPOM, apa yang dilakukan Yuli adalah sesuai dengan
kewenangannya. Tidak tepat menjerat Yuli dengan pasal 374 KUHP. Hal ini yang
kemudian memunculkan pertanyaan ataupun penytaan, “Kasus Yuli adalah bentuk kriminalisasi Apoteker?”
Kasus Yuli adalah
kasus yang luar biasa, dan ini menjadi pelajaran berharga untuk semua Apoteker,
agar ke depannya Apoteker senantiasa unjuk gigi dan berani melawan
penyimpangan-penyimpangan yang di lakukan oleh PSA yang nakal. Dan, ini juga
merupakan pembelajaran baru bagi IAI, agar ke depannya dalam pemberian
rekomendasi terhadap Apoteker untuk pendirian Apotek, senantiasa melakukan
penelaahan lebih jauh mengenai Apotek yang akan didirikan tersebut. Tentu juga
menjadi motivasi dan semangat baru untuk IAI memperjuangkan Undang-Undang
Pekerjaan Kefarmasian, agar pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker semakin kuat
payung hukumnya.
Perjalanan
kasus Yuli masih sangat panjang, dan tentu ini sangat melelahkan bagi Yuli.
Karenanya Apoteker harus tetap bersatu, agar apa yang telah menimpa Yuli,
keputusan akhirnya dapat berpihak pada profesi Apoteker. Dan untuk ke depannya,
jangan lagi ada kriminalilsasi pada sebuah pekerjaan profesional. (vit)
hemmm lucunya negeri ini...hukum tp tidak punya kekuatan hukum.
BalasHapusdukungan dan doa buat mbk Yuli Setyarini,lawan,lawan dan lawan kezoliman terhadap profesi