JAKARTA — IKATAN Apoteker Indonesia (IAI) meminta masyarakat atau pemilik modal menghargai kode etik apoteker saat menjalankan profesinya. Profesi ini dilindungi UU No.36/2009 tentang Kesehatan, UU No.35/2009 tentang Narkotika, UU No.5/1997 tentang Psikotropika, dan PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian.
“Jika apoteker tidak lagi
mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian dapat
menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” tegas Ketua
IAI, Drs. Dani Pratomo.
IKATAN APOTEKER INDONESIA : Keamanan Profesi Terancam
Kini, keamanan profesi
apoteker mulai terancam. Pasalnya, bekerja di bidang itu rentan
dikriminalisasikan karena belum adanya UU yang mengatur tentang praktik
kefarmasian. Untuk
itulah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) meminta perlindungan hukum.
Selama ini, apoteker hanya
berlindung di balik UU No.36/2009 tentang Kesehatan, dan PP 51/2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, padahal UU praktik kefarmasian bertujuan untuk
melindungi konsumen dan para apoteker di Indonesia.
Menurut Dani, selama ini
banyak kasus kriminalisasi yang dialami oleh apoteker karena minimnya
perlindungan hukum bagi mereka.
“Hal itu bisa mengancam
keberadaan profesi apoteker,” ungkapnya.
Dia menuturkan tentang kasus
terbaru kriminalisasi terhadap apoteker, yang dialami oleh Yuli Setyarini,
seorang apoteker asal Semarang. Sarjana farmasi itu terpaksa mendekam di
penjara, saat dia menjalankan tugasnya mengamankan persediaan obat sebuah
apotek, dengan cara menitipkannya kepada dinas kesehatan.
“Yuli itu menemukan transaksi
resep obat-obatan psikotropika yang janggal di apotek tersebut. Di mana apotek
Dirgantara melakukan transaksi penjualan obat-obatan psikotropika, yaitu
Diazepam dan Valisanbe,” ungkap Dani dan menambahkan IAI sudah melaporkan kasus
tersebut kepada Komisi Yudisial.
Dia mengatakan, Yuli sama sekali tidak memesan
obat-obatan tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan oleh
asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada
pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-obatan jenis psikotropika itu ke
Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Obat-obatan tersebut
berdasarkan UU No 5/1997, termasuk jenis obat-obatan yang masuk dalam daftar G
(Gevaarlijk atau berbahaya), yang tidak boleh diperjualbelikan sembarangan.
Melihat kondisi itu, kata
Dani, membuat profesi apoteker semakin berbahaya. Oleh karena itu, IAI segera
meminta perlindungan hukum untuk para apoteker.
Dia menjelaskan IAI juga
meminta kepada Mahkamah Agung, agar anggotanya diberi perlindungan hukum,
sehingga dapat dibebaskan dari jeratan penggelapan. Sebab, tidak ada satupun
stok obat yang kurang dan digelapkan dan obat tersebut sudah diserahkan ke yang
berwenang, yaitu dinas kesehatan untuk mengamankannya.
“Jika tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinkes seperti yang dilakukan Yuli dikategorikan sebagai tindakan penggelapan, bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian, yang akhirnya dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” ujarnya. (Editor : IT website IAI-Sumber : Harian Terbit ,Kabar24.com)
B juanglah IAI........SEMANGAT............kebenaran harus d tegakkan walau rintangan sllu menghadang kita.?..........MAJU APOTEKER INDONESIA
BalasHapus