Halaman

Kamis, 27 September 2012

Pemilik Modal Harus Hargai Kode Etik Apoteker



JAKARTA — IKATAN Apoteker Indonesia (IAI) meminta masyarakat atau pemilik modal menghargai kode etik apoteker saat menjalankan profesinya. Profesi ini dilindungi UU No.36/2009 tentang Kesehatan, UU No.35/2009 tentang Narkotika, UU No.5/1997 tentang Psikotropika, dan PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian.

“Jika apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” tegas Ketua IAI, Drs. Dani Pratomo. 


IKATAN APOTEKER INDONESIA : Keamanan Profesi Terancam

Kini, keamanan profesi apoteker mulai terancam. Pasalnya, bekerja di bidang itu rentan dikriminalisasikan karena belum adanya UU yang mengatur tentang praktik kefarmasian. Untuk itulah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) meminta perlindungan hukum.

Selama ini, apoteker hanya berlindung di balik UU No.36/2009 tentang Kesehatan, dan PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, padahal UU praktik kefarmasian bertujuan untuk melindungi konsumen dan para apoteker di Indonesia.

Menurut Dani, selama ini banyak kasus kriminalisasi yang dialami oleh apoteker karena minimnya perlindungan hukum bagi mereka.

“Hal itu bisa mengancam keberadaan profesi apoteker,” ungkapnya.
Dia menuturkan tentang kasus terbaru kriminalisasi terhadap apoteker, yang dialami oleh Yuli Setyarini, seorang apoteker asal Semarang. Sarjana farmasi itu terpaksa mendekam di penjara, saat dia menjalankan tugasnya mengamankan persediaan obat sebuah apotek, dengan cara menitipkannya kepada dinas kesehatan.

“Yuli itu menemukan transaksi resep obat-obatan psikotropika yang janggal di apotek tersebut. Di mana apotek Dirgantara melakukan transaksi penjualan obat-obatan psikotropika, yaitu Diazepam dan Valisanbe,” ungkap Dani dan menambahkan IAI sudah melaporkan kasus tersebut kepada Komisi Yudisial.

Dia mengatakan, Yuli sama sekali tidak memesan obat-obatan tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan oleh asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-obatan jenis psikotropika itu ke Dinas Kesehatan Kota Semarang.

Obat-obatan tersebut berdasarkan UU No 5/1997, termasuk jenis obat-obatan yang masuk dalam daftar G (Gevaarlijk atau berbahaya), yang tidak boleh diperjualbelikan sembarangan.

Melihat kondisi itu, kata Dani, membuat profesi apoteker semakin berbahaya. Oleh karena itu, IAI segera meminta perlindungan hukum untuk para apoteker.

Dia menjelaskan IAI juga meminta kepada Mahkamah Agung, agar anggotanya diberi perlindungan hukum, sehingga dapat dibebaskan dari jeratan penggelapan. Sebab, tidak ada satupun stok obat yang kurang dan digelapkan dan obat tersebut sudah diserahkan ke yang berwenang, yaitu dinas kesehatan untuk mengamankannya.

Jika tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinkes seperti yang dilakukan Yuli dikategorikan sebagai tindakan penggelapan, bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian, yang akhirnya dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” ujarnya. (Editor : IT website IAI-Sumber : Harian Terbit ,Kabar24.com) 

1 komentar:

  1. B juanglah IAI........SEMANGAT............kebenaran harus d tegakkan walau rintangan sllu menghadang kita.?..........MAJU APOTEKER INDONESIA

    BalasHapus

Komentar Anda

BERITA WEBSITE IAI

iklan iklan iklan iklan iklan iklan iklan

IP