Halaman

Minggu, 23 September 2012

Vonis 4 Bulan, Yuli Setyorini Mengajukan Banding

Terjerat Kasus Hukum karena menjalankan kewenangan Profesi 

Perjalanan panjang Yuli Setyorini menghadapi tuntutan jaksa, atas kasus yang menimpanya rupanya belum menemui titik akhir. Hasil sidang akhir yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2012, memutuskan Yuli divonis hukuman 4 bulan penjara, berkurang dari tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut Yuli hukuman 7 bulan penjara. Yuli dijerat dengan pasal 374 KUHP dengan tuduhan penggelapan. Hasil keputusan ini rupanya membuat Yuli merasa tidak diperlakukan adil, hal ini terkait dengan pembelaan Yuli, bahwa apa yang dituduhkan kepada Yuli adalah tidak benar, karena pengamanan obat adalah kewenangan Yuli selaku Apoteker. Yuli pun mengajukan banding. 

Kasus Yuli sebenarnya sudak dimulai sejak setahun yang lalu. Awalnya, Yuli berpraktek sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Dirgantara Ngaliyan, Semarang, milik seorang pengusaha Apotek bernama Wiwik. Selama perjalanannya menjadi Apoteker, beberapa kali Yuli merasa ada kejanggalan perihal stok obat di Apotek, terutama obat golongan keras, narkotik dan psikotropik. Yuli menangkap adanya kecurangan dari Pemilik Sarana Apotek (PSA), yang melakukan pemesanan obat psikotropik yaitu diazepam dan Valisanbe, tanpa sepengetahuan Yuli selaku Apoteker. 

Adanya pemesanan obat tanpa seepengetahuan Yuli, membuat Yuli mengadukan hal ini ke Dinas Kesehatan Semarang. Dinas Kesehatan Semarang kemudian melakukan sidak dan pembinaan kepada APA dan PSA. Dalam sidak tersebut, memang ditemukan beberapa pelanggaran, dimana apotek membuat obat setelan, memesan psikotropik tanpa adanya faktur pemesanan, dan kesalahan beberapa administrasi resep. Dalam pembinaan tersebut, Dinkes Semarang meminta kepada APA dan PSA untuk membuat surat pernyataan bahwa Apotek Dirgantara tidak akan melakukan pelanggaran lagi, jika tidak APA wajib menyerahkan kembali SIA ke Dinkes. 

Sayangnya, pernyataan tersebut kembali diingkari PSA. Yuli menemukan kejanggalan lagi pada resep psikotropika, dimana resep yang jumlahnya 10, diganti menjadi 20 oleh AA yang diminta oleh PSA. Atas kejadian ini, Yuli menyerahkan surat pengunduran diri pada PSA, dilanjutkan dengan mengembalikan SIA kepada Dinkes Semarang. Sesuai dengan kewenangannya, Yuli pun melakukan inventarisasi barang di Apotek, dan melakukan pengamanan terhadap barang narkotik dan psikotropik. Yuli mengganggap sedian tersebut bisa disalahgunakan jika tidak diamankan, Yuli memilih menitipkannya ke Dinas Kesehatan Semarang. Sebulan sesudahnya, Dinkes Semarang melakukan penyegelan terhadap Apotek Dirgantara, berikut pengembalian obat yang ditipkan Yuli. Semua produk yang dimiliki Apotek Dirgantara pun ikut disegel. 

Adapun jenis obat-obatan yang dititipkan Yuli ke Dinkes Kota Semarang, antara lain, Codein tablet 10mg sebanyak 175,05, Codein tablet 20mg (199,675), Codipront Caps 45 caps, Codipront syrup 1 botol, Codipront Cum exp syrup 3 Botol, Amitriptilin 25 mg (91), Carbamazepipn (63), Haloperidol (11), CPZ (525,5), Clobazam (60), Danalgin (61), dan Tramal (15). 

Kejadiannya pun terus berlanjut. Tujuh bulan kemudian, anak PSA Wiwik, Iga Dewinta Putri membuka Apotek dengan nama Mualim Farma. Sebulan sesudahnya, Wiwik melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan atas tuduhan pencurian dan penggelapan dengan No. Pol. LP/40/VIII/2011/JATENG/Restabes Emg/sek Ngl. Yuli harus menelan pahit tuntutan jaksa yang memvonisnya dengan paal 374 KUHP dengan masa kurungan 7 bulan penjara. Namun, vonis akhir yang didapat Yuli adalah 4 bulan penjara. 

Merasa diperlakukan tidak adil, Yuli Banding

IAI Semarang mengatakan akan mengawal kasus Yuli setyarini ini sampai tuntas. Ketika Yuli mengatakan akan mengajukan banding, IAI Semarang sangat mendukung keputusan Yuli. Dalam sebuah wawancara dengan media masa, Djatmika selaku ketua PD IAI Semarang menyampaikan bahwa kasus Yuli adalah penodaan terhadap profesi Apoteker. Ini merupakan penodaan besar profesi Apoteker. Sesuai aturan, kepemilikan obat-obatan psikotropika tidak bisa sembarangan. Ini sangat berbahaya,” kata Djatmika. 

Sama halnya dengan Djatmika, Dani Pratomo selaku ketua umum Ikatan Apoteker Indonesia juga menganggap kasus Yuli adalah sebuah penodaan bagi profesi Apoteker. Hal ini bukan hanya menyangkut Yuli, tapi juga profesi Apoteker. Bagaimanapun, Majelis Pertimbangan Etik telah menyatakan Yuli tidak melakukan pelanggaran profesi, dan telah menjalankan profesi sesuai dengan kewenangannya. “Apabila tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang dilakukan oleh Yuli, dikategorikan sebagai tindakan penggelapan bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi memiliki perlindungan hokum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” Tutur Dani Pratomo, dalam sebuah konfrensi pers, di Hotel Bidakara Agustus lalu. 

Kasus yang menimpa Yuli, sangat mungkin menimpa Apoteker lainnya. Hanya saja, kasus Yuli menjadi sangat luar biasa untuk profesi Apoteker. Yuli, walaupun merasa sangat lelah mengahadapi persidangan demi persidangan dalam setahun ini, namun beliau mengaku tidak akan menyerah sampai keadilan ditegakkan. “Demi keadilan, saya mengajukan banding, “ katanya dalam wawancara denga media masa. Yuli juga berharap agar Apoteker nantinya bisa lebih tegas menghadapi PSA, terutama PSA yang nakal.(vit)

3 komentar:

  1. Bu Yuli bertindak benar dan profesional. Tatacara pengawasan psikotropik memang sudah ada aturan bakunya dan berlaku internasional. Bila Bu Yuli tetap dihukum karena menyelamatkan suplai narkoba medis, BNN harus menyelamatkannya.

    BalasHapus
  2. yang begini ini yg aneh,... bertindak benar malah dihukum, jaksanya juga aneh, dimana letak penggelapannya barang bukti ada di Dinas bukan hilang, mau jujur malah di telikung,..... slogannya doang yg besar mau brantas Narkoba, tp yg beginian di cuekin

    BalasHapus
  3. hidup psikotropika tetap berjualan ya

    BalasHapus

Komentar Anda

BERITA WEBSITE IAI

iklan iklan iklan iklan iklan iklan iklan

IP