"Kami melihat majelis hakim perkara Yuli ini tidak obyektif, tidak independen, dan tidak berkeadilan," ujar ketua IAI M Dani Pratomo.
Menurutnya, hakim tersebut telah menempatkan keadilan di atas kepala para pihak, bukan menempatkan hukum di atas sengketa.
Hakim yang memutuskan perkara tersebut adalah Cipto S Basuki selaku Ketua Hakim dan dua Hakim Anggota, Rama J Purba dan Gading Muda Siregar.
Sementara Yuli merasa tidak melakukan tuduhan yang disangkakan padanya. Justru dia menemukan kejanggalan transaksi resep psikotropika yaitu Diazepam dan Valisanbe, padahal menurut sepengetahuan Yuli selaku apoteker yang diberi kewenangan sama sekali tidak memesan obat tersebut.
Sehingga Yuli melaporkan obat tersebut ke Dinas Kesehatan Kota. Karena ditemukan pelanggaran maka Dinas Kesehatan Kota Semarang meminta Wiwik untuk membuat surat pernyataan apabila melanggar lagi maka Surat Ijin Apotik akan dicabut.
Setelah ditelusuri ternyata pesanan dilakukan oleh asistennya atas desakan pemilik apotik. Wiwik pun sakit hati kepada terdakwa, lalu dia melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan. (Suara Merdeka.com)
Apoteker Dihukum, Asosiasi Mengadukan Hakim
Komisi Yudisial tidak berwenang ubah putusan. Hanya kaji dugaan pelanggaran kode etik.
Niat hati mengamankan obat-obatan
mengandung zat narkotika agar tidak jatuh ke orang yang kurang tepat, Yuli
Setyarini harus duduk di kursi pesakitan. Perempuan berprofesi sebagai apoteker
ini dituduh menggelapkan barang-barang pemilik sarana apotik hanya karena Yuli
mengamankan obat-obatan narkotika itu ke Dinas Kesehatan.
Majelis hakim PN Kota Semarang
menjatuhkan hukuman empat bulan kurungan kepada perempuan kelahiran 8 Juli 1981
itu. Menurut majelis hakim dipimpin Cipto S. Basuki, Yuli terbukti melanggar
pasal 374 KUHP sebagaimana dakwaan jaksa.
Bambang
Jayasupeno, pengacara Yuli, memastikan kliennya mengajukan banding atas putusan
itu. “Kami banding,” ujarnya kepada hukumonline.
Selain
upaya hukum banding, pengacara mengadukan nasib kliennya ke Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI). Bersama pengacara pula, Pengurus Pusat IAI melaporkan majelis
hakim PN Kota Semarang yang memutus perkara Yuli ke Komisi Yudisial, Rabu
(26/9). Dua hakim lain yang ikut memutus perkara ini, kata Bambang, adalah Rama
J Purba dan Gading Muda Siregar.
M. Dani
Pratomo, Ketua Umum IAI, mengatakan kasus Yuli sangat menohok profesi apoteker.
Sebab, apoteker adalah penanggung jawab tunggal atas peredaran obat-obatan. Dengan kata lain, tanggung jawab atas
peredaran obat di apotik atau di masyarakat adalah apoteker. Jika obat-obat
yang mengandung narkotika jatuh ke tangan pihak yang salah, apoteker yang
dipersalahkan. “Ada resiko hukum yang harus ditanggung apoteker jika
obat-obatan mengandung narkotika tak diamankan.
Dalam
pernyataan resminya, IAI menilai kasus Yuli sebagai bencana bagi dunia
apoteker. Tindakan penitipan obat berbahaya ke Dinas Kesehatan adalah tindakan
kefarmasian yang harus dijalankan apoteker sesuai undang-undang. Jika tindakan
semacam itu dikriminalisasi, berarti tidak ada perlindungan hukum bagi apoteker
menjalankan praktik kefarmasian.
Pengaduan
ke Komisi Yudisial, jelas Bambang Joyosupeno, karena ia menduga ada kejanggalan
dalam proses persidangan. Salah satunya, bukti-bukti yang diajukan pengacara
Yuli, termasuk keterangan tiga orang ahli, kurang dipertimbangkan majelis
hakim. “Hanya sedikit keterangan pihak terlapor yang diambil,” tukasnya.
Bambang
Jayasupeno mencurigai ada kejanggalan dalam proses sidang dan putusan. Karena
itu, Bambang meminta Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap majelis
hakim yang memutus perkara ini.
Komisioner
KY yang membidangi pengawasan hakim, Suparman Marzuki, menerima berkas
pengaduan pengacara Yuli dan IAI. Termasuk bukti salinan putusan PN Kota
Semarang. Menurut Suparman, Komisi Yudisial tidak bisa mengubah putusan. Yang
berwenang adalah majelis hakim banding dan kasasi. Komisi Yudisial hanya
berwenang menangani dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku. “Akan kami
lihat apakah ada pelanggaran kode etik dan kode perilaku,” ujarnya.
Suparman memastikan
tidak imparsial dan tidak adilnya hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan
bisa masuk kategori pelanggaran kode etik dan kode perilaku. (hukum online)
0 komentar:
Posting Komentar