Halaman

Rabu, 26 September 2012

Ikatan Apoteker Laporkan Tiga Hakim PN Semarang


"Kami melihat majelis hakim perkara Yuli ini tidak obyektif, tidak independen, dan tidak berkeadilan," ujar ketua IAI M Dani Pratomo.

Menurutnya, hakim tersebut telah menempatkan keadilan di atas kepala para pihak, bukan menempatkan hukum di atas sengketa.

Hakim yang memutuskan perkara tersebut adalah Cipto S Basuki selaku Ketua Hakim dan dua Hakim Anggota, Rama J Purba dan Gading Muda Siregar.

Sementara Yuli merasa tidak melakukan tuduhan yang disangkakan padanya. Justru dia menemukan kejanggalan transaksi resep psikotropika yaitu Diazepam dan Valisanbe, padahal menurut sepengetahuan Yuli selaku apoteker yang diberi kewenangan sama sekali tidak memesan obat tersebut.

Sehingga Yuli melaporkan obat tersebut ke Dinas Kesehatan Kota. Karena ditemukan pelanggaran maka Dinas Kesehatan Kota Semarang meminta Wiwik untuk membuat surat pernyataan apabila melanggar lagi maka Surat Ijin Apotik akan dicabut.

Setelah ditelusuri ternyata pesanan dilakukan oleh asistennya atas desakan pemilik apotik. Wiwik pun sakit hati kepada terdakwa, lalu dia melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan. (Suara Merdeka.com)


Apoteker Dihukum, Asosiasi Mengadukan Hakim

Komisi Yudisial tidak berwenang ubah putusan. Hanya kaji dugaan pelanggaran kode etik.

Niat hati mengamankan obat-obatan mengandung zat narkotika agar tidak jatuh ke orang yang kurang tepat, Yuli Setyarini harus duduk di kursi pesakitan. Perempuan berprofesi sebagai apoteker ini dituduh menggelapkan barang-barang pemilik sarana apotik hanya karena Yuli mengamankan obat-obatan narkotika itu ke Dinas Kesehatan.

Majelis hakim PN Kota Semarang menjatuhkan hukuman empat bulan kurungan kepada perempuan kelahiran 8 Juli 1981 itu. Menurut majelis hakim dipimpin Cipto S. Basuki, Yuli terbukti melanggar pasal 374 KUHP sebagaimana dakwaan jaksa.

Bambang Jayasupeno, pengacara Yuli, memastikan kliennya mengajukan banding atas putusan itu. “Kami banding,” ujarnya kepada hukumonline.

Selain upaya hukum banding, pengacara mengadukan nasib kliennya ke Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Bersama pengacara pula, Pengurus Pusat IAI melaporkan majelis hakim PN Kota Semarang yang memutus perkara Yuli ke Komisi Yudisial, Rabu (26/9). Dua hakim lain yang ikut memutus perkara ini, kata Bambang, adalah Rama J Purba dan Gading Muda Siregar.

M. Dani Pratomo, Ketua Umum IAI, mengatakan kasus Yuli sangat menohok profesi apoteker. Sebab, apoteker adalah penanggung jawab tunggal atas peredaran obat-obatan. Dengan kata lain, tanggung jawab atas peredaran obat di apotik atau di masyarakat adalah apoteker. Jika obat-obat yang mengandung narkotika jatuh ke tangan pihak yang salah, apoteker yang dipersalahkan. “Ada resiko hukum yang harus ditanggung apoteker jika obat-obatan mengandung narkotika tak diamankan.

Dalam pernyataan resminya, IAI menilai kasus Yuli sebagai bencana bagi dunia apoteker. Tindakan penitipan obat berbahaya ke Dinas Kesehatan adalah tindakan kefarmasian yang harus dijalankan apoteker sesuai undang-undang. Jika tindakan semacam itu dikriminalisasi, berarti tidak ada perlindungan hukum bagi apoteker menjalankan praktik kefarmasian.

Pengaduan ke Komisi Yudisial, jelas Bambang Joyosupeno, karena ia menduga ada kejanggalan dalam proses persidangan. Salah satunya, bukti-bukti yang diajukan pengacara Yuli, termasuk keterangan tiga orang ahli, kurang dipertimbangkan majelis hakim. “Hanya sedikit keterangan pihak terlapor yang diambil,” tukasnya.

Bambang Jayasupeno mencurigai ada kejanggalan dalam proses sidang dan putusan. Karena itu, Bambang meminta Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap majelis hakim yang memutus perkara ini.

Komisioner KY yang membidangi pengawasan hakim, Suparman Marzuki, menerima berkas pengaduan pengacara Yuli dan IAI. Termasuk bukti salinan putusan PN Kota Semarang. Menurut Suparman, Komisi Yudisial tidak bisa mengubah putusan. Yang berwenang adalah majelis hakim banding dan kasasi. Komisi Yudisial hanya berwenang menangani dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku. “Akan kami lihat apakah ada pelanggaran kode etik dan kode perilaku,” ujarnya.

Suparman memastikan tidak imparsial dan tidak adilnya hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan bisa masuk kategori pelanggaran kode etik dan kode perilaku. (hukum online)

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda

BERITA WEBSITE IAI

iklan iklan iklan iklan iklan iklan iklan

IP