Halaman

Apoteker di Semarang Dilaporkan Menggelapkan Sediaan Narkotika dan Psikotropika

Pengamanan dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan obat tanpa resep dokter. Pasalnya Yuli menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik modal apotek, dalam penambahan obat Danalgin (yang tergolong psikotropika) di luar resep yang diterima apotek dari dokter.

Massa Geruduk PN Semarang

Belasan orang yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM) Forum Peduli Keadilan dan apoteker menggeruduk Pengadilan Negeri Semarang. Di halaman parkir mereka membentangkan tulisan menuntut keadilan untuk apoteker yang dipidanakan Yuli Setyarini."Hidup apoteker! Hidup apoteker!" teriak para pendemo itu.

Apoteker Dituntut 7 Bulan, Pendukung Demo di PN

Dipidanakannya Yuli, membuat Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Semarang, Djatmika SSi Apt, berang. Pasalnya tindakan Yuli menyerahkan narkotika dan psikotropika ke Dinkes sudah sesuai prosedur kinerja apoteker.

Puluhan Apoteker Gelar Demonstrasi

Mereka memprotes kriminalisasi seorang apoteker asal Semarang, Yuli Setyarini yang disidang di PN Semarang, karena menjalankan tugas sebagai apoteker. ”Hidup Yuli. Bebaskan Yuli dari dakwaan hukum,” teriak pengunjuk rasa.

Waspadai Bandar Narkoba Berkedok Pemilik Apotek

Wakil Sekjen IAI Pusat, Nunut Rubiyanto, mengatakan, indikasi kasus yang menimpa apoteker asal Semarang, Yuli Setyarini. yang dilaporkan melakukan tindak penggelapan oleh pemilik, karena mengamankan sejumlah obat psikotropika ke Dinas Kesehatan Kota Semarang. ”Apoteker harus hati-hati. Waspadai pemilik yang bersyahwat bandar (narkoba),” kata Nunut dalam orasi di depan puluhan apoteker di Pengadilan Negeri (PN) Semarang

Kamis, 27 September 2012

Pemilik Modal Harus Hargai Kode Etik Apoteker



JAKARTA — IKATAN Apoteker Indonesia (IAI) meminta masyarakat atau pemilik modal menghargai kode etik apoteker saat menjalankan profesinya. Profesi ini dilindungi UU No.36/2009 tentang Kesehatan, UU No.35/2009 tentang Narkotika, UU No.5/1997 tentang Psikotropika, dan PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian.

“Jika apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” tegas Ketua IAI, Drs. Dani Pratomo. 


IKATAN APOTEKER INDONESIA : Keamanan Profesi Terancam

Kini, keamanan profesi apoteker mulai terancam. Pasalnya, bekerja di bidang itu rentan dikriminalisasikan karena belum adanya UU yang mengatur tentang praktik kefarmasian. Untuk itulah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) meminta perlindungan hukum.

Selama ini, apoteker hanya berlindung di balik UU No.36/2009 tentang Kesehatan, dan PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, padahal UU praktik kefarmasian bertujuan untuk melindungi konsumen dan para apoteker di Indonesia.

Menurut Dani, selama ini banyak kasus kriminalisasi yang dialami oleh apoteker karena minimnya perlindungan hukum bagi mereka.

“Hal itu bisa mengancam keberadaan profesi apoteker,” ungkapnya.
Dia menuturkan tentang kasus terbaru kriminalisasi terhadap apoteker, yang dialami oleh Yuli Setyarini, seorang apoteker asal Semarang. Sarjana farmasi itu terpaksa mendekam di penjara, saat dia menjalankan tugasnya mengamankan persediaan obat sebuah apotek, dengan cara menitipkannya kepada dinas kesehatan.

“Yuli itu menemukan transaksi resep obat-obatan psikotropika yang janggal di apotek tersebut. Di mana apotek Dirgantara melakukan transaksi penjualan obat-obatan psikotropika, yaitu Diazepam dan Valisanbe,” ungkap Dani dan menambahkan IAI sudah melaporkan kasus tersebut kepada Komisi Yudisial.

Dia mengatakan, Yuli sama sekali tidak memesan obat-obatan tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan oleh asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-obatan jenis psikotropika itu ke Dinas Kesehatan Kota Semarang.

Obat-obatan tersebut berdasarkan UU No 5/1997, termasuk jenis obat-obatan yang masuk dalam daftar G (Gevaarlijk atau berbahaya), yang tidak boleh diperjualbelikan sembarangan.

Melihat kondisi itu, kata Dani, membuat profesi apoteker semakin berbahaya. Oleh karena itu, IAI segera meminta perlindungan hukum untuk para apoteker.

Dia menjelaskan IAI juga meminta kepada Mahkamah Agung, agar anggotanya diberi perlindungan hukum, sehingga dapat dibebaskan dari jeratan penggelapan. Sebab, tidak ada satupun stok obat yang kurang dan digelapkan dan obat tersebut sudah diserahkan ke yang berwenang, yaitu dinas kesehatan untuk mengamankannya.

Jika tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinkes seperti yang dilakukan Yuli dikategorikan sebagai tindakan penggelapan, bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian, yang akhirnya dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” ujarnya. (Editor : IT website IAI-Sumber : Harian Terbit ,Kabar24.com) 

Rabu, 26 September 2012

Ikatan Apoteker Laporkan Tiga Hakim PN Semarang


"Kami melihat majelis hakim perkara Yuli ini tidak obyektif, tidak independen, dan tidak berkeadilan," ujar ketua IAI M Dani Pratomo.

Menurutnya, hakim tersebut telah menempatkan keadilan di atas kepala para pihak, bukan menempatkan hukum di atas sengketa.

Hakim yang memutuskan perkara tersebut adalah Cipto S Basuki selaku Ketua Hakim dan dua Hakim Anggota, Rama J Purba dan Gading Muda Siregar.

Sementara Yuli merasa tidak melakukan tuduhan yang disangkakan padanya. Justru dia menemukan kejanggalan transaksi resep psikotropika yaitu Diazepam dan Valisanbe, padahal menurut sepengetahuan Yuli selaku apoteker yang diberi kewenangan sama sekali tidak memesan obat tersebut.

Sehingga Yuli melaporkan obat tersebut ke Dinas Kesehatan Kota. Karena ditemukan pelanggaran maka Dinas Kesehatan Kota Semarang meminta Wiwik untuk membuat surat pernyataan apabila melanggar lagi maka Surat Ijin Apotik akan dicabut.

Setelah ditelusuri ternyata pesanan dilakukan oleh asistennya atas desakan pemilik apotik. Wiwik pun sakit hati kepada terdakwa, lalu dia melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan. (Suara Merdeka.com)


Apoteker Dihukum, Asosiasi Mengadukan Hakim

Komisi Yudisial tidak berwenang ubah putusan. Hanya kaji dugaan pelanggaran kode etik.

Niat hati mengamankan obat-obatan mengandung zat narkotika agar tidak jatuh ke orang yang kurang tepat, Yuli Setyarini harus duduk di kursi pesakitan. Perempuan berprofesi sebagai apoteker ini dituduh menggelapkan barang-barang pemilik sarana apotik hanya karena Yuli mengamankan obat-obatan narkotika itu ke Dinas Kesehatan.

Majelis hakim PN Kota Semarang menjatuhkan hukuman empat bulan kurungan kepada perempuan kelahiran 8 Juli 1981 itu. Menurut majelis hakim dipimpin Cipto S. Basuki, Yuli terbukti melanggar pasal 374 KUHP sebagaimana dakwaan jaksa.

Bambang Jayasupeno, pengacara Yuli, memastikan kliennya mengajukan banding atas putusan itu. “Kami banding,” ujarnya kepada hukumonline.

Selain upaya hukum banding, pengacara mengadukan nasib kliennya ke Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Bersama pengacara pula, Pengurus Pusat IAI melaporkan majelis hakim PN Kota Semarang yang memutus perkara Yuli ke Komisi Yudisial, Rabu (26/9). Dua hakim lain yang ikut memutus perkara ini, kata Bambang, adalah Rama J Purba dan Gading Muda Siregar.

M. Dani Pratomo, Ketua Umum IAI, mengatakan kasus Yuli sangat menohok profesi apoteker. Sebab, apoteker adalah penanggung jawab tunggal atas peredaran obat-obatan. Dengan kata lain, tanggung jawab atas peredaran obat di apotik atau di masyarakat adalah apoteker. Jika obat-obat yang mengandung narkotika jatuh ke tangan pihak yang salah, apoteker yang dipersalahkan. “Ada resiko hukum yang harus ditanggung apoteker jika obat-obatan mengandung narkotika tak diamankan.

Dalam pernyataan resminya, IAI menilai kasus Yuli sebagai bencana bagi dunia apoteker. Tindakan penitipan obat berbahaya ke Dinas Kesehatan adalah tindakan kefarmasian yang harus dijalankan apoteker sesuai undang-undang. Jika tindakan semacam itu dikriminalisasi, berarti tidak ada perlindungan hukum bagi apoteker menjalankan praktik kefarmasian.

Pengaduan ke Komisi Yudisial, jelas Bambang Joyosupeno, karena ia menduga ada kejanggalan dalam proses persidangan. Salah satunya, bukti-bukti yang diajukan pengacara Yuli, termasuk keterangan tiga orang ahli, kurang dipertimbangkan majelis hakim. “Hanya sedikit keterangan pihak terlapor yang diambil,” tukasnya.

Bambang Jayasupeno mencurigai ada kejanggalan dalam proses sidang dan putusan. Karena itu, Bambang meminta Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap majelis hakim yang memutus perkara ini.

Komisioner KY yang membidangi pengawasan hakim, Suparman Marzuki, menerima berkas pengaduan pengacara Yuli dan IAI. Termasuk bukti salinan putusan PN Kota Semarang. Menurut Suparman, Komisi Yudisial tidak bisa mengubah putusan. Yang berwenang adalah majelis hakim banding dan kasasi. Komisi Yudisial hanya berwenang menangani dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku. “Akan kami lihat apakah ada pelanggaran kode etik dan kode perilaku,” ujarnya.

Suparman memastikan tidak imparsial dan tidak adilnya hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan bisa masuk kategori pelanggaran kode etik dan kode perilaku. (hukum online)

IAI Mengantar Vonis Yuli Setyorini Ke Komisi Yudisial


Tomang, 15 Agustus 2012, Sidang keputusan atas kasus Yuli Setyorini dikeluarkan Majlis Hakim. Oleh Majlis Hakim, Yuli dijerat pasal 374 atas tuduhan penggelapan dengan vonis 4 bulan penjara, atas dasar penggelapan. Yuli pun mengajukan banding, yang otomatis menunda panahaanannya saat ini.

Penodaan profesi, begitulah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyebut kasus hukum yang menimpa Yuli. Bagaimana sebuah hukum diputuskan tanpa mempertimbangkan hal-hal terkait etik dari profesi dan mempertimbangkan undang-undang yang berlaku. Djatmika, selaku ketua PD. IAI Semarang mengatakan akan terus mengawal kasus Yuli sampai tuntas, dan menganggap keputusan Yuli untuk banding adalah keputusan yang tepat.

Terkait dengan perjalanan panjang kasus Yuli, IAI pusat pun mencoba membuat langkah, dengan mangangkat kasus Yuli ke Komisi Yudisial. Pertimbangan pengambilan langkah ini didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah pengabaian alat bukti dari pihak Yuli, seperti pertimbangan dari 3 orang saksi ahli, surat-surat pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum diangkatnya kasus, dsb.

Bambang Joyo Supeno, selaku pengacara yang menangani kasus Yuli juga menghawatirkan kejanggalan atas kasus Yuli, “ Selain tidak mempertimbangkan alat bukti, pernah ada laporan juga bahwa ada pertemuan antara pelapor dan Hakim ketua, yang bisa menjadi indikasi majlis hakim yang diketuai oleh Tjipto S. Basuki berpihak pada pelapor,” tuturnya.

Walaupun belum bisa menjadi bukti kuat, namun Bambang juga memasukan prilaku hakim yang terlihat dalam gesture pada saat memimpin siding ke dalam materi yang memungkinkan terjadi keberpihakan. Dibawanya kasus ini ke Komisi Yudisial, diharapkan dapat membuat para hakim belajar untuk lebih menghargai apapun yang terkait dengan pesidangan, seperti alat bukti persidangan itu sendiri. “Bagaimanapun, awalnya Yuli dilaporkan atas kasus pencurian, lalu divonis dengan pasal penggelapan. Alasan hukum untuk hakim memutuskan vonis bagi Yuli sebenarnya lemah, tapi Yuli tetap divonis bersalah,” tambah Bambang yang merasa terlalu banyak kejanggalan atas kasus ini.

Masalah yang dimulai sejak tahun 2010 ini memang menyita perhatian IAI secara intens. Ketua umum IAI, Dani Pratomo,  menegaskan bahwa ini adalah penistaan pada profesi Apoteker. Menurutnya, Apoteker saat ini sedang memulai untuk menjalankan profesi sesuai dengan PP. 51 tahun 2009. Yuli adalah salah seorang yang tengah menjalankan aturan tersebut, lalu mengapa ketika Apoteker menjalankan profesi sesuai aturan undang-undang justru divonis bersalah dengan tuduhan penggelapan. “Kami khawatir, jika vonis yang dikenakan pada Yuli dijadikan Yurisprudensi,” kata Dani Pratomo

Dani juga mengatakan, kasus seperti Yuli mungkin saja terjadi pada Apoteker lainnya, tetapi kasusnya tidak muncul ke permukaan. “saat ini posisi Apoteker di Apotek masih dilihat sekadar pegawai saja, bukan dilihar sebagai sebuah profesi, hal ini yang terkadang menjadi masalah,” tutur Dani. Sedang Nurul Falah selaku Sekjen IAI memaparkan bahwa kasus Yuli dan PSA nya bukan menjadi kesimpulan bahwa selalu ada masalah antara PSA dan Apoteker. “Selama ini hubungan PSA dan Apoteker adalah hubungan yang tercipta baik, dan tidak semua PSA seperti PSA dalam kasus Yuli. Kalau dalam kasus ini bisa dilihat sebagai yang kuat menindas yang lemah,” tambah Nurul Falah.

Berkas-berkas terkait pelaporan kasus Yuli dan barang bukti telah diajukan, baik oleh pengacara Yuli maupun oleh IAI kepada Komisi Yudisial, yangsaat itu diterima oleh Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudial (KY), Suparman marzuki. Berkas tersebut akan ditindaklanjuti, baik dari sisi kelengkapan ataupun materinya. “ Bagaimanapun juga, Komisi Yudisial tidak bisa mengubah keputusan hakim di pengadilan. Yang akan kami lakukan adalah menganalisa, apakah selama kasus ini disidangkan telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran prilaku, seperti bertemunya hakim dan pelapor, keberpihakan hakim ataupun suap, juga bisa kejanggalan-kejanggalan lainnya,” kata Suparman.

Suparman juga berpesan, jika terdapat barang bukti yang bisa memperkuat, seperti bukti rekaman, foto agar dikirimkan untuk memudahkan proses analisa. Namun peninjauan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. “Laporan di KY bisa ditindaklanjuti cepat atau lambat, hal ini juga tergantung pada kerjasama antara orang-orang yang terlibat di dalamnya,” tutur Suparman. Untuk sementara waktu, yang perlu dilakukan IAI adalah melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. (Vita, PT ISFI Penerbitan)

Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin Divonis 4 Bulan


Jakarta,  Apoteker Yuli Setyorini (32) melaporkan apotek tempat dia bekerja menjual narkotika dan psikotropika tanpa izin. Tindakannya ini malah dipidanakan dan Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah, menghukum Yuli 4 bulan penjara. Kini Yuli meringkuk di LP Semarang.

"Kasus ini menjadi bencana bagi dunia apoteker. Dengan tuduhan penggelapan bagi Yuli, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat," kata Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) M Dani Pratomo saat mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial (KY), Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2012).

Kasus ini bermula saat apotek tempat Yuli bekerja mendapat teguran dari Dinas Kesehatan Kota Semarang karena menjual narkotika dan psikotropika tanpa izin pada 2010. Lantas, pada 2011 apotek tempat dia bekerja masih menjual barang yang sama.

Maka pada 2012, dia pun berinisiatif melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan membawa barang bukti narkotika tersebut. Tetapi yang terjadi pihak yang tidak suka melaporan Yuli ke polisi dengan tuduhan penggelapan.

"Kasus ini menampar profesi apoteker sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap obat-obatan. Dan kami mengharapkan pelajaran berharga agar masyarakat dan pemilik modal menghormati kode etik apoteker saat menjalankan profesinya," ujar Dani.

Setelah diproses hukum, Yuli mendapat vonis 4 bulan penjara dari PN Semarang pada 15 Agustus 2012. Majelis hakim memutuskan Yuli menggelapkan barang dalam jabatannya.

"Padahal barang tersebut hanya dititipkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dan barang tersebut kini telah dikembalikan ke apotek. Sesuai pasal 50 ayat 1 KUHP, seseorang tidak bisa dihukum karena kewajiban perbuatan dari pekerjaannya," ujar kuasa hukum Yulis, Bambang Jaya Supeno, di tempat yang sama.

Menanggapi laporan ini, KY sebagai lembaga yang dibentuk konstitusi untuk mengawasi perilaku hakim berjanji akan melakukan investigasi, apakah ada perbuatan pelanggaran kode etik hakim atau tidak.

"Kami akan menindaklanjuti pengaduan ini. Tapi kami ingatkan ini bisa berjalan cepat atau lambat," ujar komisioner KY Suparman Marzuki.

Selain mengadu ke KY, Yuli dalam kasus ini juga mengajukan perlawanan hukum banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. (detik)

IAI minta Komisi Yudisial Cegah Pendzoliman Lewat Vonis


Jakarta, Vonis 4 bulan penjara oleh majelis hakim di PN Semarang kepada apoteker Yuli Setyarini sangat lemah alasan hukumnya. Kesan memaksakan vonis terhadap Yuli yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai apoteker dan dilindungi UU tersebut, dinilai Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai pendzoliman berkedok vonis.

"Yuli melakukan pengamanan obat, dan diamankan ke instansi yang berwenang. Apa yang dilakukannya sudah sesuai UU, kok dinyatakan penggelapan. Ini kan namanya Yuli didzolimi. Ini pendzoliman lewat vonis. Kami mohon KY mencegah hal ini," kata Sekjen IAI Nurul Falah, pada saat konferensi pers usai melaporkan vonis terkait Yuli di KY, Rabu (26/9) siang.

Menurut dia, IAI berencana akan memberikan bantuan hukum melalui tim pengacaranya kepada Yuli. IAI tidak akan membiarkan anggotanya yang tidak bersalah, di kriminalisasi.

"Kalau bekerja sesuai UU saja terancam di kriminalisasi, mana ada orang mau jadi apoteker. Lalu bagaimana nantinya 70 fakultas Farmasi kita? Ini adalah masalah serius, dan kami akan terus mendukung banding yang dilakukan Yuli," kata Nurul. (suara merdeka)


Kasus Vonis Yuli Apoteker Dilaporkan IAI ke Komisi Yudisial

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Rabu (26/9) siang ini melaporkan kasus kriminalisasi kepada apoteker Yuli Setyarini S Farm ke Komisi Yudisial (KY). Yuli sebagai apoteker yang bekerja di Apotek Dirgantara Ngaliyan Kota Semarang, oleh JPU dijerat Pasal 374 KUHP terkait penggelapan dalam jabatannya.

Oleh majelis hakim, Yuli yang anggota IAI Semarang tersebut divonis 4 bulan penjara. Padahal Yuli melakukan pengamanan obat sesuai kewenangannya sebagai apoteker. Apalagi dititipkannya di Dinas Kesehatan Kota Semarang, instansi pemerintah yang berwenang untuk membina dan mengawasi.

"Vonis ini jelas bencana bagi dunia apoteker. IAI menilai bahwa apa yang dilakukan Yuli sudah sesuai UU, mengapa divonis bersalah melakukan penggelapan oleh majelis hakim. Dengan vonis ini maka kami apoteker tak punya perlindungan hukum lagi. Ini adalah penistaan terhadap apoteker. Dan kami khawatir vonis terhadap Yuli ini dijadikan yurisprudensi," kata Drs M Dani Pratomo Apt, Ketua Umum Pengurus Pusat IAI dalam jumpa pers usai menyerahkan berkas laporan terkait vonis tersebut ke KY.

Dalam kesempatan yang sama, pengacara Yuli, Bambang Joyo Supeno mengatakan, bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan alat bukti dari pihaknya. Juga adanya laporan bahwa pelapor bertemu dengan ketua majelis hakim. Yang mana hal ini menunjukkan bahwa diduga kuat majelis hakim yang diketuai Tjipto S Basuki tidak independen.

"Karena alasan hukum yang mendasari hakim memutus kasus ini sangat-sangat lemah. Tapi tetap saja Yuli di vonis bersalah," kata Bambang.

Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, KY tidak bisa mengubah keputusan pengadilan, namun akan kita periksa apakah ada pelanggaran kode etik, dan pelanggaran perilaku serta kejanggalan-kejanggalan lain, yang mempengaruhi hakim saat memutuskan perkara.

Selain itu dia meminta pihak pelapor segera melengkapi kelengkapan yang diperlukan, serta berharap pihak-pihak terkait akan kooperatif memenuhi panggilan KY, sehingga cepat penuntasannya. (suara merdeka)

Minggu, 23 September 2012

Kasus Yuli Setyorini, Kriminalisasi Apoteker?

Sebuah konfrensi pers dilakukan oleh Ikatan Apoteker Indonesia, di Hotel Bidakara pada tanggal  13 Agustus 2012. Pembahasannya masih mengenai kasus sejawat Apoteker, Yuli Setyarini, yang dituntut hukuman 7 bulan penjara atas tuduhan penggelapan.

Satu pertanyaanpun bergulir, benarkah kasus Yuli adalah sebuah kriminalisasi Apoteker? Seperti hal nya yang dirasakan oleh Yuli, bahwa kasus ini adalah kriminalisasi untuk dirinya. Sedang kan Yuli merasa, apa yang dilakukannya adalah sebuah kewenangan Apoteker yang telah diatur pelaksanaanya dalam peraturan pemerintah.

Sebelumnya perlu diingat, bahwa dalam menjalankan profesinya, apoteker dilindungi oleh beberapa peraturan, yaitu undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009, PP. 51 tahun 2009 mengenai pekerjaan kefarmasian, undang-undang narkotika dan undang undang psikotropika. Pengamanan sediaan psikotropika yang dilakukan oleh Yuli ke Dinas Kesehatan Semarang, demi keamanan agar tidak terjadi penyalahgunaan, adalah suatu kewenangan bagi Apoteker. Hal ini jelas tertera pa pasal 108 Undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009:

(ayat 1)“Praktik kefaramasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”

Dijelaskan adalam penjelasan ayat 1, tenaga kesehatan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Ketika tenaga kefarmasian tidak ada, maka tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktek kefarmasian secara terbatas. Pada pasal 2, dituliskan bahwa ketentuan mengenai praktek kefarmasian dijelaskan dalam peraturan pemerintah.

Pada PP. 51 tahun 2009, juga dipaparkan mengenai penjelasan tenaga kefarmasian, bahwa Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Asisten Apoteker. Dalam hal ini jelas, bahwa pihak-pihak diluar Apoteker dan Asisten Apoteker bukanlah tenaga kefarmasian, dan sudah pasti tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

Pada pasal 25 PP 51 tahun 2009, dipaparkan tiga point mengenai kerjasama Apoteker dan pemilik modal dalam pendirian Apotek:
  1. Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
  2. Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
  3. Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimakasid ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.


Yuli sebagai Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal telah melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan wewenangnya, berdasarkan undang-undang kesehatan, yang salah satunya adalah mengamankan sediaan farmasi.

Disimpulkan oleh Dani Pratomo, bahwa esensi dari Undang-undang 36 tahun 2009 dan PP. 51 tahun 2009 adalah: Bahwa proses kefarmasian harus terselenggara sebagai sebuah peristiwa pelayanan kesehatan. Bahwa obat sebagai produk kefarmasian tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tapi juga memiliki manfaat kesehatan sekaligus resiko kesehatan yang tinggi. Bahwa Apoteker adalah pelaku utama dari praktik kefarmasian sehingga harus bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan praktek kefarmasian.

Dilihat dari Kasus Yuli, tentu vonis yang diterimanya kurungan selama 4 bulan adalah bentuk ketidak adilan. Hal ini dikarenakan setelah dipelajari oleh bagian etik profesi, Dinas kesehatan dan BPOM, apa yang dilakukan Yuli adalah sesuai dengan kewenangannya. Tidak tepat menjerat Yuli dengan pasal 374 KUHP. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan ataupun penytaan, “Kasus Yuli adalah bentuk kriminalisasi Apoteker?”

Kasus Yuli adalah kasus yang luar biasa, dan ini menjadi pelajaran berharga untuk semua Apoteker, agar ke depannya Apoteker senantiasa unjuk gigi dan berani melawan penyimpangan-penyimpangan yang di lakukan oleh PSA yang nakal. Dan, ini juga merupakan pembelajaran baru bagi IAI, agar ke depannya dalam pemberian rekomendasi terhadap Apoteker untuk pendirian Apotek, senantiasa melakukan penelaahan lebih jauh mengenai Apotek yang akan didirikan tersebut. Tentu juga menjadi motivasi dan semangat baru untuk IAI memperjuangkan Undang-Undang Pekerjaan Kefarmasian, agar pekerjaan kefarmasian  yang dilakukan oleh Apoteker semakin kuat payung hukumnya.

Perjalanan kasus Yuli masih sangat panjang, dan tentu ini sangat melelahkan bagi Yuli. Karenanya Apoteker harus tetap bersatu, agar apa yang telah menimpa Yuli, keputusan akhirnya dapat berpihak pada profesi Apoteker. Dan untuk ke depannya, jangan lagi ada kriminalilsasi pada sebuah pekerjaan profesional. (vit)

Vonis 4 Bulan, Yuli Setyorini Mengajukan Banding

Terjerat Kasus Hukum karena menjalankan kewenangan Profesi 

Perjalanan panjang Yuli Setyorini menghadapi tuntutan jaksa, atas kasus yang menimpanya rupanya belum menemui titik akhir. Hasil sidang akhir yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2012, memutuskan Yuli divonis hukuman 4 bulan penjara, berkurang dari tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut Yuli hukuman 7 bulan penjara. Yuli dijerat dengan pasal 374 KUHP dengan tuduhan penggelapan. Hasil keputusan ini rupanya membuat Yuli merasa tidak diperlakukan adil, hal ini terkait dengan pembelaan Yuli, bahwa apa yang dituduhkan kepada Yuli adalah tidak benar, karena pengamanan obat adalah kewenangan Yuli selaku Apoteker. Yuli pun mengajukan banding. 

Kasus Yuli sebenarnya sudak dimulai sejak setahun yang lalu. Awalnya, Yuli berpraktek sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Dirgantara Ngaliyan, Semarang, milik seorang pengusaha Apotek bernama Wiwik. Selama perjalanannya menjadi Apoteker, beberapa kali Yuli merasa ada kejanggalan perihal stok obat di Apotek, terutama obat golongan keras, narkotik dan psikotropik. Yuli menangkap adanya kecurangan dari Pemilik Sarana Apotek (PSA), yang melakukan pemesanan obat psikotropik yaitu diazepam dan Valisanbe, tanpa sepengetahuan Yuli selaku Apoteker. 

Adanya pemesanan obat tanpa seepengetahuan Yuli, membuat Yuli mengadukan hal ini ke Dinas Kesehatan Semarang. Dinas Kesehatan Semarang kemudian melakukan sidak dan pembinaan kepada APA dan PSA. Dalam sidak tersebut, memang ditemukan beberapa pelanggaran, dimana apotek membuat obat setelan, memesan psikotropik tanpa adanya faktur pemesanan, dan kesalahan beberapa administrasi resep. Dalam pembinaan tersebut, Dinkes Semarang meminta kepada APA dan PSA untuk membuat surat pernyataan bahwa Apotek Dirgantara tidak akan melakukan pelanggaran lagi, jika tidak APA wajib menyerahkan kembali SIA ke Dinkes. 

Sayangnya, pernyataan tersebut kembali diingkari PSA. Yuli menemukan kejanggalan lagi pada resep psikotropika, dimana resep yang jumlahnya 10, diganti menjadi 20 oleh AA yang diminta oleh PSA. Atas kejadian ini, Yuli menyerahkan surat pengunduran diri pada PSA, dilanjutkan dengan mengembalikan SIA kepada Dinkes Semarang. Sesuai dengan kewenangannya, Yuli pun melakukan inventarisasi barang di Apotek, dan melakukan pengamanan terhadap barang narkotik dan psikotropik. Yuli mengganggap sedian tersebut bisa disalahgunakan jika tidak diamankan, Yuli memilih menitipkannya ke Dinas Kesehatan Semarang. Sebulan sesudahnya, Dinkes Semarang melakukan penyegelan terhadap Apotek Dirgantara, berikut pengembalian obat yang ditipkan Yuli. Semua produk yang dimiliki Apotek Dirgantara pun ikut disegel. 

Adapun jenis obat-obatan yang dititipkan Yuli ke Dinkes Kota Semarang, antara lain, Codein tablet 10mg sebanyak 175,05, Codein tablet 20mg (199,675), Codipront Caps 45 caps, Codipront syrup 1 botol, Codipront Cum exp syrup 3 Botol, Amitriptilin 25 mg (91), Carbamazepipn (63), Haloperidol (11), CPZ (525,5), Clobazam (60), Danalgin (61), dan Tramal (15). 

Kejadiannya pun terus berlanjut. Tujuh bulan kemudian, anak PSA Wiwik, Iga Dewinta Putri membuka Apotek dengan nama Mualim Farma. Sebulan sesudahnya, Wiwik melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan atas tuduhan pencurian dan penggelapan dengan No. Pol. LP/40/VIII/2011/JATENG/Restabes Emg/sek Ngl. Yuli harus menelan pahit tuntutan jaksa yang memvonisnya dengan paal 374 KUHP dengan masa kurungan 7 bulan penjara. Namun, vonis akhir yang didapat Yuli adalah 4 bulan penjara. 

Merasa diperlakukan tidak adil, Yuli Banding

IAI Semarang mengatakan akan mengawal kasus Yuli setyarini ini sampai tuntas. Ketika Yuli mengatakan akan mengajukan banding, IAI Semarang sangat mendukung keputusan Yuli. Dalam sebuah wawancara dengan media masa, Djatmika selaku ketua PD IAI Semarang menyampaikan bahwa kasus Yuli adalah penodaan terhadap profesi Apoteker. Ini merupakan penodaan besar profesi Apoteker. Sesuai aturan, kepemilikan obat-obatan psikotropika tidak bisa sembarangan. Ini sangat berbahaya,” kata Djatmika. 

Sama halnya dengan Djatmika, Dani Pratomo selaku ketua umum Ikatan Apoteker Indonesia juga menganggap kasus Yuli adalah sebuah penodaan bagi profesi Apoteker. Hal ini bukan hanya menyangkut Yuli, tapi juga profesi Apoteker. Bagaimanapun, Majelis Pertimbangan Etik telah menyatakan Yuli tidak melakukan pelanggaran profesi, dan telah menjalankan profesi sesuai dengan kewenangannya. “Apabila tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang dilakukan oleh Yuli, dikategorikan sebagai tindakan penggelapan bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi memiliki perlindungan hokum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” Tutur Dani Pratomo, dalam sebuah konfrensi pers, di Hotel Bidakara Agustus lalu. 

Kasus yang menimpa Yuli, sangat mungkin menimpa Apoteker lainnya. Hanya saja, kasus Yuli menjadi sangat luar biasa untuk profesi Apoteker. Yuli, walaupun merasa sangat lelah mengahadapi persidangan demi persidangan dalam setahun ini, namun beliau mengaku tidak akan menyerah sampai keadilan ditegakkan. “Demi keadilan, saya mengajukan banding, “ katanya dalam wawancara denga media masa. Yuli juga berharap agar Apoteker nantinya bisa lebih tegas menghadapi PSA, terutama PSA yang nakal.(vit)

Senin, 13 Agustus 2012

Rawan Kriminalisasi, Ikatan Apoteker Indonesia Minta Perlindungan Hukum

"Kasus kriminalisasi terhadap Apoteker sangat banyak, tapi tak mencuat ke permukaan. Tentunya ini mengancam para apoteker di Indonesia dalam praktek kefarmasian, "

Skalanews - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pusat mengkhawatirkan tak adanya perlindungan hukum dalam menjalankan praktik kefarmasian akan menjadi penghambat dalam kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Tak jarang kriminalisasi terhadap apoteker kerap terjadi.

"Kasus kriminalisasi terhadap Apoteker sangat banyak, tapi tak mencuat ke permukaan. Tentunya ini mengancam para apoteker di Indonesia dalam praktik kefarmasian," kata Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) M Dani Pratomo dalam diskusi 'Kriminalisasi Apoteker' dibilangan Jakarta Selatan, Senin (13/8)


Dicontohkanya dugaan kriminalisasi terhadap Apoteker seperti kasus yang kini tengah menjerat seorang Apoteker asal Semarang yakni Yuli Setyarini S.Farm. Perkara yang menjerat Yuli bermula pada 2010 saat itu Yuli bekerja di Apotek Dirgantara Ngaliyan Semarang.


Ia menemukan transaksi yang janggal, yakni ada pembelian psikotropika di apotek tersebut. Padahal dia sama sekali tidak memesan obat-obatan itu. Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-obatan jenis psikotropika itu ke Dinas Kesehatan Kota Semarang.


Adapun jenis obat-obatan yang diserahkan Yuli ke Dinkes Kota antara lain Codein tab 10mg 175,05 tab, Codein tab 20mg 199,675 tab, Codipront Caps 45 cap, Codipront syrup 1 Btl, Codipront Cum exp syrup 3 Btl, Amitriptilin 25 mg 91 tab, Carbamazepipn 63 tab, Haloperidol 11 tab, CPZ 525,5 tab, Clobazam 60 tab, Danalgin 61 tab, dan Tramal 15 Tab.


Obat-obatan tersebut berdasarkan UU No 5/1997 termasuk jenis obat-obatan yang masuk dalam daftar G (gevaarlijk/berbahaya) yang tidak boleh sembarang diperjualbelikan.


"Berdasarkan pengakuan dari sejawat Yuli penitipan tersebut dilakukanya karena yang bersangkutan akan mengundurkan diri sebagai pengelola apoteker Dirgantara. Sedangkan apoteker yang akan menggantukan dirinya belum ada. Sehingga ada kekhawatiran jika obat-obatan khusus yersebut akan disalahgunakan bila tidak diserahkan ke Dinas Kota Semarang,"jelasnya

Namun yang dilakukan Yuli tersebut oleh pemilik apotek Dirgantara yakni Wiwik Suprihartiningsih, dilaporkan sebagai penggelapan. Lantas oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuli dijerat Pasal 374 KUHP terkait penggelapan dalam jabatanya. Kasus ini sendiri tengah menanti putusan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang.

"Apabila tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang dilakukan Yuli dikategorikan sebagai tindakan penggelapan bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka Apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,"bebernya.

IAI juga meminta kepada Mahkamah Agung (MA) agar anggotanya yakni terdakwa Yuli diberi perlindungan hukum. "Agar Yuli dibebaskan dari jeratan  penggelapan, karena tak ada satupun stok obat yang kurang dan digelapkan dan obat itu sudah diserahkan ke Dinas Kesehatan,"pungkasnya.

Tak ada UU Praktek Kefarmasian

Rawannya kriminalisasi terhadap profesi Apoteker dinilai Ketua IAI, Dani Pratomo dituding sebagai imbas karena tak adanya Undang-undang praktik Kefarmasian.

Selama ini dalam menjalankan profesinya Apoteker hanya berlindung dibalik UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan dan PP 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

"Maka perlu dibuat UU praktek kefarmasian untuk melindungi konsumen dan para apoteker,"katanya.

Diakuinya, pada 2004 IAI sudah melobby DPR untuk membentuk UU Praktek Kefarmasian, namun sayang DPR hanya mengabulkan pembuatan PP 51/2009 saja.

"Selama Indonesia merdeka apoteker masih termarjinalkan,"pungkasnya.[Skala News - Frida Astuti]

Minggu, 12 Agustus 2012

IAI Minta Yuli Dibebaskan

Amankan Obat Psikotropika, Didakwa Penggelapan


SEMARANG- Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Tengah menggelar rapat luar biasa menjelang sidang putusan terhadap salah satu anggotanya, Yuli Setyarini. Satu dari tiga pernyataan sikap yang dihasilkan dari tersebut adalah meminta hakim memutus bebas Yuli tanpa syarat.

Ketua IAI Jateng, Jamaludin Al J Efendi, mengatakan, pernyataan tersebut bukanlah bentuk intervensi terhadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang akan memutus perkara itu pada 15 Agustus lusa. Pernyataan sikap ini justru sebagai upaya memberikan pengertian jika dalam menjalankan tugas, terdakwa Yuli tidak melakukan kesalahan.

’’Apa yang dilakukan oleh Yuli sudah sesuai prosedur. Dalam menjalankan tugas, apoteker telah memiliki aturan dan kode etik. Maka kami minta (Yuli) dibebaskan murni,’’ ujarnya kepada wartawan di PT Phapros Semarang, Sabtu (11/8).
Jika putusan hakim yang dijatuhkan nanti dirasa memberatkan, maka IAI akan mengajukan banding. Menyatakan bersalah tindakan Yuli akan menimbulkan efek buruk bagi profesi apoteker. Yuli, menurut IAI, bekerja sesuai prosedur, namun dituduh bersalah dan didakwa melanggar Pasal 374 KUHP mengenai tindak pidana penggelapan. Oleh jaksa, Yuli dituntut tujuh bulan kurungan.

Ditelusuri

Perkara ini bermula pada 2010 saat Yuli bekerja di Apotek Dirgantara Ngaliyan Semarang. Ia menemukan transaksi yang janggal, yakni ada pembelian psikotropika di apotek tersebut. Padahal dia sama sekali tidak memesan obat-obatan itu.

Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-obatan jenis psikotropika itu ke Dinas Kesehatan Kota Semarang. Oleh pemilik apotek, Wiwik Suprihartiningsih, tindakan Yuli dilaporkan sebagai penggelapan.

Jenis obat-obatan yang diserahkan Yuli ke Dinkes Kota antara lain Codein tab 10mg 175,05 tab, Codein tab 20mg 199,675 tab, Codipront Caps 45 cap, Codipront syrup 1 Btl, Codipront Cum exp syrup 3 Btl, Amitriptilin 25 mg 91 tab, Carbamazepipn 63 tab, Haloperidol 11 tab, CPZ 525,5 tab, Clobazam 60 tab, Danalgin 61 tab, dan Tramal 15 Tab. Berdasarkan UU No 5/1997, jenis obat-obatan yang masuk dalam ''daftar G (gevaarlijk/berbahaya) seperti Clobazam tidak boleh sembarang diperjualbelikan.

Dua poin pernyataan sikap lain adalah menolak kriminalisasi profesi apoteker dan meminta masyarakat menghormati kinerja dan kode etik apoteker.

Sementara itu, Kasi Farmasi, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kota Semarang, Fathurrahman, mengatakan Majelis Pertimbangan Etik Daerah (MPED) telah melakukan pertemuan dan menyatakan tindakan Yuli menyelamatkan obat-obatan jenis psikotropika benar atau sesuai aturan. (SuaraMerdeka H81-43)

Komentar Anda

BERITA WEBSITE IAI

iklan iklan iklan iklan iklan iklan iklan

IP